Minggu, 18 November 2012

Celotehan di Angkot



Celotehan di Angkot
Oleh : Asep Suhendar S

“ Ibu kerja buat apa? Nyari uang buat makan keluarga, sekolah kamu, beli baju kamu. Ibu, satu jam dapat uang berapa? Sekitar seratus ribu nak? Emang kenapa nak? Ibu, jika aku punya uang sepuluh ribu, aku bisa dapat waktu bersama ibu berapa lama?”

Mentari yang baru sepenggal muncul ke bumi. Ditengah udara yang masih segar aku bersiap-siap pergi ke pelatihan menulis.  Aku naik angkot menuju ke tempat pelatihan menulis. Penumpang angkot yang aku tumpangi cukup penuh. Aku duduk di samping ibu – ibu yang memakai kemeja biru telur asin.
Di angkot aku tidak sengaja mendengarkan obrolan ibu yang memakai kemeja biru telur asin itu.
“ bu. . . ibu kerja dimana?” kata ibu A.
“ Di pabrik satu bu , aduh saya lembur nih. Anak saya sampai menangis karena belum sempet bertemu saya. Saya berangkat subuh pulang malam. Saat berangkat ataupun pulang anak saya masih tertidur lelap.” Cerita ibu B.
Dalam hati, aku merasa kasihan sama anak ibu B. Dia butuh perhatian dari seorang ibu. Walaupun banyak uang tetapi tidak punya waktu untuk berkumpul bersama keluarga.  Dia mencari uang itu untuk membahagiakan anaknya. Tapi anak malah sedih karena tidak bisa berkumpul, bercanda, mendapatkan perhatian dari ibunya. Tidak  selamanya uang itu dapat menjadi kebahagaian. Iya sih memang mencari uang itu penting, namun lebih penting waktu bersama keluarga.
 Aku teringat kenangan masa lalu bersama keluarga sederhanaku yang utuh dan bahagia. Ayahku yang tampan selalu bertanggung jawab, selalu melindungi, selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan keluargaku yang hanya penghasilan dari kuli bangunan.
Ibuku yang cantik, jago masak, pintar membuat kue-kue kering, yang selalu setia mendengarkan cerita-ceritaku. Selalu memberi kehangatan dalam keluarga disaat sedang berkumpul. 
Dan kedua kakakku yang cantik yang selalu membantuku ibu membuat kue untuk dijual. Kami selalu ada dalam kebersamaan. Walaupun kami tidak banyak uang tapi dengan kebersamaan itu membuat kami merasa bahagia. Kebahagiaan yang nggak akan pernah aku lupakan saat ibu membuat cake ultahku dan `makan bersama-sama. Itu menjadi kenangan terakhir bersama ibuku. Keceriaan di wajah kami memberikan warna ditengah-tengah keluarga.

Lamuananku buyar saat mendengar suara jeritan motor dan angkot yang aku tumpangi mendadak berhenti.

Cekittttt……………. Brukkk…….. !!! aku mendengar suara sepeda motor yang rem mendadak. Sepeda motor itu menabrak bemper belakang angkot yang aku tumpangi. Si abang angkotnya malah menertawakan orang yang celaka itu.
“Syukurin makanya kalo mengendarai itu lihat-lihat,” seru abang angkot sambil tersenyum. 
Karena tidak apa-apa, angkot yang aku tumpangi terus jalan menghiraukan si pengendara sepada motor.
Pikirku kembali bertanya.
Apakah kesuksesan itu hanya diukur dari materi saja untuk mencapai kebahagiaan??
Materi mungkin adalah simbol sukses, namun bukan itu yang hendaknya Anda cari dalam hidup.

Banyak orang sukses yang tidak bahagia setelah banyak uang. Terus apakah uang penting?? Ya, uang hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Bukan tujuan itu sendiri. Kebanyakan dari kita menjadikan uang sebagai tujuan kita.
Kebahagiaan tidak cukup dinilai dari uang yang kita dapatkan, jika begitu kebahagiaan itu tidak ada harganya lagi. Ada yang lebih bernilai daripada uang yaitu keluarga, kesehatan, dan spiritual.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;